Oleh: Rifka Baringbing
Buat para pelaku usaha dan importir, pasti udah gak asing lagi sama yang namanya surat penetapan dari Bea Cukai. Tapi, pernah gak sih kamu bingung: “Kapan sih surat ini seharusnya dikirim?” atau “Kenapa gue baru tahu sekarang, padahal tanggal suratnya udah lama?”
Nah, ini semua berawal dari aturan di Pasal 14 PMK 147/2009 soal cara penyampaian surat penetapan. Walaupun aturannya udah ada sejak lama, ternyata masih ada celah yang bikin wajib pajak dirugikan. Terutama soal surat yang namanya SPKTNP — alias Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean.
Sebelum bahas lebih jauh, kita kenalan dulu sama dua surat penting ini:
SPTNP: Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean (penetapan awal)
SPKTNP: Surat Penetapan Kembali Tarif/Nilai Pabean (hasil dari audit ulang)
Keduanya penting banget, dan punya aturan cara penyampaian masing-masing. Tapi masalahnya, gak semua surat diatur serinci itu.
Aturannya Gimana Sih?
Di Pasal 14 PMK 147/2009, dijelasin bahwa untuk SPTNP, SPP, dan SPSA, ada dua cara penyampaian:
Lewat media elektronik (PDE) → harus dikirim di hari yang sama saat ditetapkan; atau
Lewat pos atau jasa kirim lainnya → boleh kirim maksimal 1 hari kerja setelah tanggal penetapan.
Tapi beda banget nih sama SPKTNP. Di Pasal 14 ayat (2), cuma disebutkan:
“...paling lama pada hari kerja berikutnya sejak tanggal keputusan.”
Hanya menyebutkan jangka waktunya dan Gak ada penjelasan lewat media apa harus dikirim di sinilah masalahnya mulai muncul.
Karena gak disebutkan medianya, maka:
Surat bisa aja dikirim lewat email pribadi tanpa bukti.
Gak ada kepastian kapan surat itu dianggap “sah diterima”.
Akibatnya, wajib pajak bisa ketinggalan tenggat waktu untuk ajukan keberatan.
Padahal dalam dunia kepabeanan, waktu itu krusial banget. Telat sedikit aja, bisa bikin kamu gagal menggugat tagihan yang sebenarnya bisa dibantah.
Supaya gak makin banyak yang dirugikan, ini dia beberapa langkah yang bisa (dan harus) dilakukan Bea Cukai:
Revisi PMK 147/2009, khususnya Pasal 14 ayat (2), supaya jelas media penyampaian SPKTNP harus seperti apa — elektronik? pos? kurir? Jangan bikin abu-abu.
Sambil nunggu revisi PMK, DJBC bisa keluarkan aturan internal dulu biar petugas di lapangan gak main interpretasi sendiri.
Dorong semua kantor pabean pakai sistem PDE, supaya semua surat ada jejak digitalnya. Lebih rapi, lebih bisa dilacak.
Gak cuma pemerintah, kamu sebagai wajib pajak juga bisa ambil langkah buat jaga hak kamu:
Kalau terima SPKTNP, pastikan suratnya dikirim lewat jalur resmi, bukan asal via WhatsApp atau email gak jelas.
Simpan bukti tanggal kamu terima surat. Ini penting banget buat ngitung tenggat waktu keberatan.
Kalau merasa surat disampaikan gak sesuai prosedur, kamu punya hak buat ajukan keberatan atau bahkan minta surat itu dibatalkan karena cacat prosedur.
Surat penetapan itu jelas bukan surat cinta — konsekuensinya bukan soal perasaan, tapi urusan hukum dan keuangan yang serius. Jadi, cara penyampaiannya gak bisa asal-asalan.
Kalau surat cinta dikirim sembarangan bisa bikin baper berkepanjangan, surat penetapan yang disampaikan asal juga bisa menimbulkan ketidakpastian hukum tanpa ujung.
Karena itu, pemerintah wajib menjamin aturan penyampaian yang jelas, tegas, dan seragam. Di sisi lain, wajib pajak juga harus melek aturan dan berani bersuara kalau prosedur dilanggar. Karena pada akhirnya, kepastian hukum adalah hak semua orang — bukan cuma soal siapa yang bikin aturan, tapi juga bagaimana aturan itu ditegakkan.