


Audit kepabeanan adalah proses yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) untuk memastikan bahwa kegiatan impor atau ekspor yang dilakukan perusahaan sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Audit ini bisa menyangkut kepatuhan terhadap peraturan, keakuratan dokumen, serta kebenaran data yang disampaikan dalam Pemberitahuan Impor Barang (PIB) atau Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB).
Namun, pelaksanaan audit bukanlah hal yang bisa dilakukan secara sewenang-wenang. Ada aturan jelas yang mengatur bagaimana audit harus dijalankan, siapa yang berwenang, dan apa saja yang wajib dilakukan oleh Tim Audit. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 200 Tahun 2011 serta PER-35/BC/2017.
Pelaksanaan audit harus selalu dimulai dengan Surat Tugas. Tanpa surat tugas, audit dianggap tidak sah.
Surat tugas inilah yang menjadi dasar hukum bagi Tim Audit untuk melakukan pemeriksaan.
Selain itu, setiap penerbitan surat tugas wajib disertai dengan daftar kuesioner yang diberikan kepada perusahaan (Auditee). Kuesioner ini berfungsi sebagai alat bagi DJBC untuk menilai kinerja Tim Audit dan sistem audit itu sendiri.
Artinya, jika perusahaan tidak menerima daftar kuesioner bersama surat tugas, hal itu bisa menjadi indikasi pelaksanaan audit tidak sesuai prosedur.
Sesuai Pasal 19 ayat (1) PMK 200/2011, pelaksanaan audit kepabeanan harus diselesaikan dalam waktu paling lama 3 bulan sejak tanggal penugasan yang tertera di surat tugas.
Namun, jika diperlukan, DJBC dapat memperpanjang masa audit — tetapi harus ada permohonan resmi sebelum masa 3 bulan tersebut berakhir.
Ketentuan ini ditegaskan kembali dalam Pasal 25 PER-35/2017, yang mensyaratkan agar perpanjangan dilakukan dengan izin Direktur Jenderal Bea dan Cukai menggunakan formulir khusus. Jadi, jika audit diperpanjang tanpa adanya dokumen persetujuan tersebut, maka prosedur audit dapat dipertanyakan keabsahannya.
Ketika melaksanakan audit, Tim Audit memiliki kewajiban yang sangat jelas, yaitu:
Jika salah satu dari hal ini tidak dilakukan, pelaksanaan audit dapat dianggap cacat prosedur karena melanggar Pasal 17 PMK 200/2011.
Dalam pelaksanaan audit, DJBC membedakan antara dua tahap utama:
Keduanya merupakan satu kesatuan dalam proses audit. Namun, jika surat tugas tidak mencantumkan secara jelas apakah itu audit lapangan atau audit kantor, maka secara hukum surat tugas tersebut berlaku untuk keduanya.
Setelah seluruh pemeriksaan selesai, Tim Audit wajib melakukan pembahasan akhir (exit meeting) dengan perusahaan.
Pada tahap ini, Tim Audit menyampaikan hasil temuan dan kesimpulan dari pemeriksaan, sekaligus memberi kesempatan kepada perusahaan untuk memberikan klarifikasi, tanggapan, atau bukti tambahan.
Tahap ini penting karena menjadi batas terakhir bagi perusahaan untuk memperbaiki kesalahan atau menyampaikan penjelasan sebelum hasil audit difinalisasi menjadi Daftar Temuan Sementara (DTS) atau Laporan Hasil Audit (LHA).
Apabila pembahasan akhir tidak pernah dilakukan, maka proses audit tersebut dapat dinilai tidak memenuhi asas transparansi dan keadilan administrasi.
Banyak perusahaan yang tidak menyadari bahwa mereka memiliki hak untuk menolak audit yang tidak sesuai prosedur.
Misalnya:
Semua hal itu bisa dijadikan dasar keberatan atau pembelaan hukum, baik dalam tahap administrasi maupun di Pengadilan Pajak.Dengan memahami aturan pelaksanaan audit, perusahaan dapat melindungi haknya dan memastikan proses pemeriksaan berjalan adil, transparan, dan sesuai ketentuan hukum.